December 14, 2009

Kasus Aneh, Pembunuhan dan mutilasi paling terkenal di indonesia

11. ROBOT GEDEK

Siswanto atau dikenal sebagai Robot Gedek (1965?-26 Maret 2007) adalah terhukum karena perbuatan kriminal berupa sodomi disertai pembunuhan anak kecil di sekitar Jakarta dan Jawa Tengah pada rentang waktu 1994-1996 dengan korban 12 orang anak. Karena perbuatannya itu perbuatannya ia dijatuhi hukuman mati oleh pengadilan, namun sebelum menjalani hukuman, ia meninggal dunia karena serangan jantung pada tanggal 26 Maret 2007.


10. DUKUN AS

Ahmad Suradji (populer dipanggil Dukun AS; juga dikenal dengan nama Nasib Kelewang, Datuk; 1949–Galang, Deli Serdang, 10 Juli 2008) adalah seorang pelaku pembunuhan terhadap 42 orang wanita yang mayatnya dikuburkan di perkebunan tebu di Desa Sei Semayang, Kabupaten Deli Serdang, Sumatra Utara dari tahun 1986 hingga 1997.
Nama aslinya adalah Nasib. Karena sering menggunakan kelewang saat melakukan pencurian lembu di kawasan Stabat, ia pun dipanggil "Nasib Kelewang" oleh teman-temannya.[1] Nama "Ahmad Suradji" disandangnya setelah keluar dari penjara karena tersandung kasus pencurian lembu, sedangkan nama Datuk diberikan teman-temannya karena ia menikahi tiga kakak beradik kandung dan tinggal serumah. Sehari-hari Suradji bekerja sebagai petani. Ia hanya lulus SD dan mempunyai tiga orang istri dan sembilan anak. Pihak kepolisian pertama kali menemukan mayat salah seorang korban pada 27 April 1997, seorang wanita berusia 21 tahun bernama Sri Kemala Dewi. Seminggu kemudian, seorang saksi mengatakan bahwa pada hari Dewi menghilang, ia telah mengantarkan Dewi ke tempat tinggal Suradji. Polisi kemudian menemukan setumpuk pakaian dan perhiasan wanita di situ, di antaranya barang-barang milik Dewi. Suradjipun ditangkap.

Apakah Suradji sendiri mengaku bersalah tidak diketahui jelas. Ada sumber-sumber yang menyebut bahwa ia tidak mau mengaku, namun ada pula yang menyatakan bahwa ia telah mengakui perbuatannya. Dalam sebuah laporan, Suradji mengaku membunuh karena hendak menyempurnakan ilmu yang sedang dipelajarinya. Agar ilmunya sempurna, ia harus membunuh 70 orang wanita dan mengisap air liur korban. Ilmu ini sendiri ia dapati dari ayahnya saat ia masih berusia 12 tahun, meskipun perhatiannya terhadap ilmu tersebut baru mulai terasa saat ia mencapai usia 20 tahun.

Pada tahun 27 April 1998, ia divonis mati oleh majelis hakim Pengadilan Negeri Lubuk Pakam karena terbukti bersalah melakukan pembunuhan terhadap wanita-wanita tersebut. Ia dieksekusi pada Kamis 10 Juli 2008, tepatnya pukul 22.00 oleh tim eksekusi Brigadir Mobil (Brimob) Kepolisian Daerah (Polda) Sumatera Utara.


09. RIO MARTIL

Antonius Rio Alex Bulo atau lebih dikenal dengan nama Rio Martil (Sleman, 2 Mei 1978 - Karangtengah, Banyumas, 8 Agustus 2008) adalah pembunuh 4 orang yang diketahui sebagai pemilik rental mobil yang kemudian mobilnya dicuri oleh Rio. Nama Rio Martil muncul dikarenakan ia membunuh dengan menggunakan martil. Ia divonis mati Pengadilan Negeri Purwokerto pada 14 Mei 2001 yang kemudian dijebloskan ke penjara Nusakambangan. Pada Mei 2005, ia kemudian membunuh koruptor Iwan Zulkarnaen, sementara ia menunggu vonis mati terhadap dirinya.

Sedari kecil, Rio dikenal sebagai anak nakal. Polahnya membuat orangtuanya tidak mampu menanganinya lagi. Padahal kala itu Rio masih 8 tahun. Orangtuanya pun mengungsikan Rio kecil dari Sleman (Yogyakarta) ke Jakarta, ikut kakak sulungnya yang bertaut 12 tahun.
Di Jakarta, kenakalan Rio menjadi-jadi ketika ayahnya tak lagi mengakuinya sebagai anak. Penyebabnya, Rio tak mau pindah agama yang dipeluk sang ayah. Kasih sayang keluarga yang diimpikan Rio pun semakin tercerabut.

Rio lalu berteman dengan preman Senen, sering bolos sekolah, mabuk-mabukan, hingga mengganja. Kekerasan dan kejahatan menjadi karibnya.
Rio menghidupi dirinya dengan menjual surat-surat kendaraan palsu. Setelah menikah, dia beralih profesi sebagai pencuri mobil. Dalam tiga hari, dia bisa menggasak tiga mobil. Hidupnya makmur. Pada istrinya, dia mengaku berjualan pakaian.
Pria berdarah Sulawesi ini kesandung masuk bui setelah penadahnya melaporkan dia ke polisi karena melarikan mobil 'bos'-nya itu. Ketika bebas, Rio terpaksa menekuni profesinya sebagai pencuri mobil lagi karena sudah kadung menerima persekot mencuri mobil.
Tapi karena di Jakarta dia sudah terkenal sebagai penjahat kambuhan, akhirnya Rio pindah operasi. Selain pindah tempat, dia juga ganti modus. Dia membekali diri dengan martil dan tak segan-segan membunuh. Sasarannya kini adalah pengusaha penyewaan mobil.

Bidikan pertama Rio adalah Surabaya. Dengan martil mautnya, dia menghabisi pengusaha rental mobil dan menggondol sedan Mercy. Di Semarang, Rio melarikan Izusu Panther setelah menggetok mati dua orang dengan martil kesayangannya. Di Yogya, percobaan pembunuhannya gagal.

Rio tak putus asa. Pada 12 Januari 2001, Rio menghabisi Jeje Suraji di Baturaden, Banyumas. Dia menggondol sedan Timor milik Jeje yang disewanya dari Bandung.
Dan inilah akhir petualangan pembunuh berwajah innocent ini. Hotel prodeo menjadi tempat tinggalnya setelah dijatuhi hukuman mati pada 2001.
Dan ketika diganjar hukuman maksimal itu, Rio bertekat untuk bertobat. "Saya bersyukur karena tidak mati pada saat sedang melakukan kejahatan. Akan tetapi, mati dalam hukuman, mati ketika dalam proses pertobatan," ujar Rio di LP Purwokerto seperti dilansir Kompas edisi 3 Juni 2001.

Pada Agustus 2004, pria yang kemudian digelari 'Rio Martil' itu dipindahkan ke Nusakambangan. Pada Desember 2004, Iwan Zulkarnaen, koruptor Rp 40 miliar dan divonis 16 tahun, dibui di LP yang sama. Karena sama-sama pernah mengecap tanah Sulawesi, Rio dan Iwan cepat akrab. Bahkan Iwan pun mengajari Rio mengaji. Cocok dengan niat Rio untuk bertobat.

Tapi rupanya 'bakat' membunuh itu tak juga sirna dari Rio. Hanya karena diledek Iwan bahwa dia hanya bertaji di luaran saja, Rio naik pitam. Segera dia hantamkan kepala guru mengajinya itu ke tembok sel. Dia menghabisi nyawa Iwan dengan tangan kosong, tanpa sang martil maut.

Pada tanggal 8 Agustus 2008 ia dihukum mati oleh regu tembak dan dimakamkan di Kejajar, Banyumas, Banyumas.

08. SUMANTO

Sumanto, begitulah laki-laki berumur 31 tahun lalu itu dinamakan. Orang tuanya ketika lahir di di Purbalingga pada 3 Maret 1972, Mulya Wikarta (67 tahun) dan Samen (60), tak pernah ‘bermimpi’ anaknya akan tumbuh menjadi seorang kanibal - yang memakan tubuh tetangganya sendiri. Namun, pada Selasa (14/1) malam lalu, Wikarta justru dikejutkan dengan ‘mimpi buruk’, ketika polisi membekuk Sumanto sebagai pencuri mayat wanita tua, dan dinyatakan memakan daging mayat tersebut. Celakanya lagi, karena tidak tahu sang ayah juga ikut makan bersama anaknya, setelah potongan daging Mbah Rinah dibakar oleh Sumanto.

Peristiwa tersebut mulai terkuak ketika berita hilangnya mayat seorang nenek berusia 81 tahun yang belum sampai 24 jam dikubur di kuburan Desa Mojotengah, Kemangkon, Purbalingga, Jawa Tengah. Warga setempat geger karena kuburan Mbah Rinah sudah acak-acakan. Mereka lebih dibuat geger lagi ternyata mayat Mbah Rinah sudah raib. Berita tersebut segera menyebar sampai ke desa tetangga. Malahan ada yang membumbuinya dengan hal-hal yang berbau mistis sehingga membuat warga desa ‘terteror.’ Kaum perempuan tak berani tidur sendirian, para lelaki melakukan ronda sampai pagi. Ketegangan baru berakhir saat polisi membekuk Sumanto di rumahnya sekitar lima kilo meter dari makam Mbah Rinah. Sumanto rupanya teledor. Ia tak memperhitungkan ‘sisa’ mayat yang ia tanam di depan rumahnya bakal menyebarkan bau busuk. Warga yang mencium aroma tak sedap curiga, lalu melapor ke polisi.
Sumanto tak berkutik karena polisi menemukan potongan tubuh dan tulang-tulang Mbah Rinah di rumahnya. Selain itu Polisi juga mendapati tengkorak manusia, dua alat vital laki - laki dalam botol. Kepada Polisi Sumanto mengaku dirinya sedang memperdalam ilmu di bawah bimbingan seorang ‘guru.’ Dengan memakan mayat badannya akan menjadi kebal, tak terluka oleh goresan senjata, dan mendapat ketenangan batin.
Perburuan Sumanto terhadap mayat Mbah Rinah dimulai sejak Sabtu (11/1) pukul 19 00 WIB. Saat itu ia mulai menggali kuburan Mbah Rinah yang telah diamatinya sejak sore. Kain kafan pembungkus mayat Mbah Rinah yang dimakamkan Sabtu siang itu, baru berhasil ia sentuh pada Minggu pukul dua dini hari. Hal itu dikarenakan pembongkaran kuburan ia lakukan dengan tangan kosong tanpa menggunakan alat bantu. Setelah mayat Mbah Rinah dikeluarkan dari liang kubur, kain kafan yang membalutnya dilucuti dan ditinggalkan begitu saja. Mayat kemudian dimasukkan ke dalam karung plastik lalu diangkut dengan sepeda onthel menuju rumahnya yang berjarak sekitar 1,7 km.

Sesampainya di rumah, Sumanto memotong alat vital Mbah Rinah dan membungkusnya dengan kain merah. Saat ia ditangkap Polisi menemukan bungkusan kain merah itu di saku bajunya. Selanjutnya, ia memotong-motong mayat seperti orang memotong daging ayam. Lantas dipotong-potong sebagian dibakar, dimasak dengan kuali dan sebagian dimakan mentah-mentah.

Saat rekonstruksi kasus ini dilaksanakan pada pada Sabtu (18/1) pagi, warga tampak histeris dan merasa jijik. Meski alat peraga dalam rekonstruksi itu hanyalah daging dan tulang sapi mentah, Sumanto tampak antusias melahapnya. Meski rekontruksi dilakukan pagi pukul 06.30, namun rekonstruksi tersebut mendapat perhatian luas dari masyarakat sekitarnya. "Sengaja kita lakukan rekonstruksi pagi-pagi sekali untuk menghindari kerumunan warga. Namun kenyataannya, masyarakat tetap banyak yang melihat. Untungnya, rekontsruksi berlangsung lancar," kata Kapolres Purbalingga, Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Agus Sofyan Abadi, saat mempimpin acara tersebut. Tak hanya itu, ternyata ini bukan pertama kalinya Sumanto ‘menikmati’ daging manusia. Sumanto mengaku bahwa sebelumnya ia telah memakan tiga tubuh manusia selain Mbah Rinah. Korban pertama yang ia makan adalah seorang perampok yang semula akan membegalnya. Perampok itu sempat duel dengan Sumanto. Ia berhasil membunuhnya dan kemudian memakan daging tubuhnya mentah-mentah. Peristiwa kedua adalah korban kecelakaan kereta api. Ketika dia berjalan di pinggir rel di sekitar daerah Rajabasah, ia menemukan potongan kaki manusia. Seketika itu ia makan mentah-mentah. Kemudian kejadian ketiga adalah seorang begal yang juga berhasil ia bunuh. Begal itu kemudian dimakan Sumanto bersama temannya yang ia lupa namanya. Korban ketiga ini, kemudian ia ambil penisnya dan dijadikan kalung.
Hanya saja saja polisi belum percaya begitu saja dengan pengakuan Sumanto. Pasalnya, seluruh empat korban itu, belum termasuk dengan misteri keberadaan Mistam si tukang pijat yang hilang setelah memijat Sumanto. Pakaian Mistam sendiri, berhasil ditemukan di rumah Sumanto. Kemudian, keberadaan seorang bocah usia belasan warga Mandiraja Banjarnegara, yang juga dilaporkan hilang setelah bermain di sekitar rumah Sumanto. Atas perkembangan pemeriksaan tersebut, Kapolres Agus Sofyan Abadi meminta kepada masyarakat sekitar untuk melapor ke polisi jika merasa kehilangan angota keluarganya.
Melihat perbuatannya yang ‘kelewat-lewat’, sejumlah warga menduga Sumanto tak waras. Namun tampaknya dugaan itu keliru. Menurut Kapolres Purbalingga Ajun Komisaris Besar Polisi (AKBP) Agus Sofyan Abadi, saat diperiksa polisi Sumanto menjawab pertanyaan dengan lancar, tak berbelit-belit. Setelah diperiksa oleh tim psikologi Polda Jawa Tengah, Sumanto dinyatakan sebagai psikopat. Semua perbuatan Sumanto, dilakukan secara sadar bahkan dengan pertimbangan yang matang. "Misalnya untuk kasus mencuri mayat Mbah Rinah dan kemudian memakannya, semuanya sudah disiapkan, sudah direncanakan. Sumanto melakukan semua itu dalam keadaan sehat dan sadar," kata AKBP Purnomo, ketua tim pemeriksa Sumanto yang juga Kadis Psikologi Polda Jateng. Untuk memastikan apakah Sumanto benar-benar waras atau tidak, sejak Kamis lalu Polisi mengirimnya ke RSUD Banyumas selama 14 hari.

Perilaku miring Sumanto diduga berawal dari pengalaman Sumanto selama merantau ke Lampung. Saat di Lampung itu Sumanto bertemu dengan searang guru spiritual yang bernama Taslim. Taslim mengajarkan bahwa memakan mayat manusia dapat memberikannya kesaktian dan kekayaan. Kata Purnomo, waktu ia berada di Lampung terjadi perubahan perilaku yang cukup signifikan. "Artinya, pengalaman-pengalaman itu telah membuat Sumanto seperti telah menemukan dunianya yang baru. Dia tidak lagi memperhatikan asas norma kelaziman seperti makan daging mentah bahkan daging manusia. Ini kan tidak lazim, tapi Sumanto dengan sadar melakukannya," kata Purnomo.

Entah apa yang Sumanto rasakan ketika ia mengunyah daging korban-korbannya. Namun, paling sedikit, empat tubuh telah dilahapnya. Dalam rapat desa, warga Desa Plumutan telah sepakat untuk mengusir si kanibal dari desa. Tak hanya itu, mereka menuntut aparat untuk menghukum Sumanto dengan hukuman seberat-beratnya. Paling tidak, saat ini warga desa dapat kembali tidur dengan tenang.

Lain halnya dengan Mulya Wikarta dan Ny Samen, orang tua Sumanto. Mereka harus menahan malu akibat ulah anak mereka. Bukan salah mereka menamakan anak mereka Sumanto. Bukan salah mereka, jika orang menafsirkan Sumanto menjadi kepanjangan dari Suka Makan Tubuh OrangIa dihukum penjara selama 5 tahun namun dibebaskan bertepatan Hari Idul Fitri 2006 (24 Oktober) setelah beberapa kali mendapatkan remisi. Dikabarkan sekarang ia berada di sebuah pesantren.

07. SUGENG & SUMIARSIH

DUA puluh tahun bukanlah waktu yang pendek untuk sebuah penantian.
Apalagi, menunggu ajal dari bidikan proyektil para eksekutor. Namun, itulah
kenyataan yang harus dihadapi Sumiarsih dan Sugeng. Manusiawikah bahwa
seorang wanita tua dan anaknya yang rambutnya mulai memutih harus menerima
ajal di hadapan regu tembak Brimob Polda Jatim?

Kebanyakan orang yang belum tahu peristiwa 20 tahun silam tentu akan
berpikir lain tentang keputusan hukuman mati di ujung senjata itu. Namun,
mereka yang tahu persis peristiwa kelam pada 13 Agustus 1988 itu bukan tidak
mungkin akan mafhum agar kedua terpidana mati tersebut segera dieksekusi.

"Kalau teringat peristiwa saat itu, sadisnya bukan main," kenang Ramli,
warga Pujon, yang ikut proses evakuasi korban pembantaian yang dibuang di
jurang Songgoriti, Batu, Jawa Timur, itu.

''Sampai sekarang pun saya masih terngiang-ngiang bagaimana ketika saya
membantu petugas kepolisian mengangkat para korban,'' kata pria itu. Kelima
korban bersama mobil Daihatsu Taft GT yang dijatuhkan dari atas setelah
disulut api itu adalah Letkol (Mar) Purwanto, Sunarsih (istri Purwanto),
Haryo Bismoko (anak), Haryo Budi Prasetyo (anak), dan Sumaryatun
(keponakan).

Ramli yang mengaku berhasil mengangkat tiga di antara lima korban bersama
tim penolong, mengaku masih belum bisa melupakan ''keganasan'' Sumiarsih cs.
Terutama saat dirinya mengangkat tubuh korban yang rata-rata gosong dan
baunya menyengat. Dia mengangkut korban bersama tiga rekannya ke ambulans.

''Mayatnya bau busuk karena pembunuhannya *kan *pagi hari. Darah yang
mengalir dari kepala korban juga dibiarkan. Baunya masa ampun,'' tuturnya.

Selain semua mayat kepalanya pecah akibat pukulan benda tumpul, Ramli
melihat kulit tubuh korban banyak yang mengelupas akibat luka bakar. Bahkan,
kepala Purwanto -kepala Primkopal- saat ditemukan masih terbungkus kresek
hitam. Karena meleleh, kresek itu menyatu dengan kulit kepalanya. Sementara
genangan darah di tas kresek mulai mengering. "Ngeri sekali," ucap Ramli.

Yang tak kalah ngeri saat dia mengevakuasi tubuh Haryo Budi Prasetyo. Tubuh
putra bungsu Letkol Purwanto itu terjepit bagian belakang onggokan mobil
Taft yang hancur. Luka di kepala penuh darah dan sebagian mulai mengering
dan gosong. ''Sadis pokoknya, Mas,'' katanya lagi.

Sejak peristiwa itu, untuk beberapa lama warga Pujon, Malang, dan sekitarnya
sampai tidak berani melalui jalur maut tersebut. "Mereka pada ketakutan,"
kenangnya. Terlebih lagi, di jalan itu tak ada pagar pembatas. Badan jalan
berhampiran dengan jurang menganga. Lerengnya ditumbuhi banyak tanaman
perdu.

Dalam rekonstruksi terungkap bahwa sebelum mobil "diterjunkan" ke jurang,
seluruh permukaan mobil dan tumpukan lima mayat disiram bensin. Sebagai
penyulut, Serda (pol) Adi Saputro -menantu Sumiarsih yang sudah dieksekusi
mati-menyiapkan obor berupa tangkai kayu yang ujungnya dibalut *gombal *dan
dibasahi bensin.

Caranya, mobil milik Purwanto itu dihentikan di bibir jurang dengan posisi
moncong menghadap ke jurang. Mesin dimatikan. Setelah rem tangan dilepas,
mobil didorong. Adi Saputro di sebelah kiri dan Sugeng di kanan. Saat
didorong, pintu kiri ditutup, dan pintu kanan terbuka lantaran Sugeng harus
melepas rem tangan. Saat mobil meluncur, Adi lantas menyulutnya dengan api
lewat jendela pintu depan yang kacanya sengaja dibuka.

Begitu mobil terbakar dan meluncur ke jurang, keduanya pergi
meninggalkannya. Para pelaku berharap agar skenario seakan-akan Purwanto
meninggal karena kecelakaan berlangsung mulus. Mereka kembali ke Surabaya
mengendarai Suzuki Carry yang sengaja dibawa dari rumah. Suzuki itu
dikendarai Daim dan Nano (keduanya bebas setelah menjalani hukuman
masing-masing 15 tahun dan 12 tahun penjara).

Petugas identifikasi Polres Malang, Jamhuri, mengakui betapa sulitnya
mengevakuasi para korban dari jurang saat itu. ''Mereka seperti paham lokasi
yang tepat dengan karakteristik tertentu, termasuk kedalaman jurang itu,''
komentar Jamhuri kala itu.

Hal itu terbukti dengan lamanya tim evakuasi mengangkat kelima korban dan
mobil Taft. Meski dimulai pagi, evakuasi baru tuntas setelah azan Magrib.
Sebab, mobil terjepit di celah relung jurang dengan posisi bagian roda di
atas.

Tak satu pun roda kendaraan itu tersisa. Semuanya ludes dilahap api.
''Beruntung waktu itu, meski musim kering, tanaman-tanaman di sana tidak
meranggas, sehingga tidak sampai membakar hutan di kawasan itu,'' ujar
Jamhuri.

Truk katrol untuk menarik mobil Taft tersebut juga masih sederhana. Truk itu
milik seorang petani di Pujon. Truk tersebut memang biasa digunakan untuk
mengangkat mobil-mobil yang masuk jurang di kawasan Pujon dan sekitarnya.
Truk itu dimodifikasi sedemikian rupa, sehingga layak untuk mengatrol mobil
yang terjerumus ke jurang. 'Truk itu warnanya putih seperti milik polisi
lalu lintas,'' tandas Jamhuri.

Bukan hanya evakuasi mobilnya yang repot. Evakuasi para korban juga
merepotkan banyak pihak. Mayat-mayat itu tidak bisa diangkut langsung menuju
jalan raya. Akibatnya, tim evakuasi menempuh jalan memutar, lewat jalan
lebih ke bawah sehingga jaraknya dua sampai tiga kali lipat lebih jauh.

Pembunuhan itu memang dirancang cukup apik. Tapi, tetap tidak sempurna.
Penyidik menemukan banyak kejanggalan, sehingga menyimpulkan korban
meninggal bukan karena kecelakaan, tapi karena benturan benda tumpul di
kepala.

*Dihabisi dengan Brutal*

Sebelum skenario membuang mayat di jurang Songgoriti, Malang, pagi itu (13
Agustus 1988), lima orang keluar dari sebuah rumah di Kupang Gunung Timur,
Surabaya. Mereka adalah Djais Adi Prayitno, 54; didampingi istri, Sumiarsih,
40; Daim, 27; Nano; Sugeng (anak Sumiarsih), 24; dan Serda Pol Adi Saputra
(menantu Prayitno).

Dari rumah Prayit -panggilan Djais Adi Prayitno- mereka naik Suzuki Carry
menuju rumah Letkol Marinir Purwanto di Dukuh Kupang Timur XVII. Waktu
berada di mobil yang dikemudikan Daim itu, Prayitno membagikan *alu* (antan)
dan kaus tangan kepada Adi Saputra, Sugeng, Nano, dan Daim.

Sebelum sampai di rumah Purwanto, mobil tersebut berputar-putar. Sebab, saat
itu banyak anak bermain voli di depan rumah Purwanto. Prayit merasa tidak
aman apabila banyak orang di depan rumah korban.

Beberapa bulan sebelumnya, Purwanto dan Prayit memang dekat. Bahkan,
pembangunan rumah Purwanto di Dukuh Kupang Timur itu pun dipercayakan kepada
Prayit. Tapi, hubungan kedua sahabat itu agak renggang karena Purwanto
sering menagih utang Prayit sebesar Rp 36 juta.

(Bagi warga Gang Dolly, lokalisasi terkenal di Surabaya, Prayit bukan nama
yang asing. Dia germo di kompleks pelacuran itu. Sejak sebelum 1980, Prayit
sudah tinggal di kawasan lampu merah itu).

Sekitar pukul 10.00, rombongan tersebut sampai di rumah Purwanto. Kedatangan
mereka dianggap kunjungan biasa. Karena itu, kepala Primkopal (koperasi
milik Angkatan Laut) yang sedang menunggu kelahiran anak keempat pun menemui
mereka di ruang tamu.

Ruang tamu sedang sepi. Ketiga anak Purwanto tidak ada di rumah. Haryo
Bismoko (siswa kelas I SMA Trimurti) dan Haryo Budi Prasetyo (siswa SD kelas
VI) sedang bermain di depan rumah. Sementara, Haryo Abrianto mengikuti
pendidikan di Akabri. Sunarsih, istri Purwanto yang dalam kondisi hamil,
memasak di dapur.

Setelah merasa aman, lima orang tersebut menghabisi Purwanto. Mereka memukul
Purwanto dengan *alu* di bagian belakang kepalanya. Perwira Marinir itu
dikabarkan sempat melawan. Sebab, ditemukan memar di beberapa bagian di
tubuhnya. Selain itu, tulang iga Purwanto patah.

Tubuh Purwanto dibawa ke garasi. Mendengar keributan itu, Bismoko dan Budi
Prasetya pun menuju garasi. Di sana mereka dipukul Adi Saputra. Ternyata dia
malah berlarian sambil berteriak. Salah satu dari mereka kemudian ditangkap
dan dipukul Sugeng.

Sunarsih mendengar keributan itu. Bersama Sumaryatun, keponakan Purwanto,
dia masuk garasi. Di belakang mereka Prayit dan Sumiarsih sudah
berjaga-jaga. Selanjutnya, Adi dan Sugeng menyambut Sunarsih. Mereka berdua
mencekik Sunarsih dengan *alu*. Sementara, Daim kebagian membunuh
Sumaryatun. Lengkap sudah. Kelima korban tersebut tewas seketika. Lima orang
itu pun menyeret lima tubuh tak bernyawa ke garasi. Mereka memasukkannya ke
mobil Daihatsu Taft milik korban.

Dari rumah, mobil berisi mayat itu dibawa dua orang (Adi dan Sugeng) ke
daerah Songgoriti, Batu. Mobil dan kelima jenazah tersebut dibuang,
seakan-akan korban kecelakaan. Malamnya, ketika kabar kecelakaan tersebut
menyebar, Prayit menyiapkan skenario lain.

Sebelum mayat dibawa ke rumah duka, Prayit mempersiapkan rumah Purwanto. Dia
membersihkan, menata kursi, dan menyuruh orang-orang mengganti lampu neon.
''Itu dilakukan dengan duitnya sendiri,'' kata salah seorang tetangga.

Anak pertama Purwanto, Haryo Abrianto pun datang. Dia tampak terpukul dengan
kejadian itu. Prayit sebagai kerabat dekat keluarga itu ikut menenangkannya.
Layaknya pembunuh berdarah dingin, Prayit-lah orang pertama yang membuka dan
peti mati para korban. Bahkan, dia masih bisa merekam gambar kedatangan
jenazah itu dengan kamera video.


06. IPTU GRIBALDI

PEKANBARU—Dari tampangnya, tidak sedikit pun menyangka bahwa pria berkulit putih dan berpostur sedang ini merupakan pembunuh berdarah dingin. Ia adalah Inspektur Satu (Iptu) Gribaldi, mantan Kepala Urusan Informasi Kriminal Telematika Kepolisian Daerah (Polda) Jambi. Gribaldi diduga menjadi pelaku tunggal tujuh pembunuhan berantai pada tahun 1999 hingga April 2004.

Dari tujuh korbannya, empat di antaranya adalah perempuan yaitu mantan isteri dan wanita “simpanan” Gribaldi. Ia melakukan pembunuhan dengan berbagai motif.
Gribaldi semula diperiksa di Polda Jambi, tempat ia bertugas. Akan tetapi setelah ia melakukan gerakan “tutup mulut” kasusnya diperiksa di Mapolda Riau. Dipilihnya Polda Riau karena dari tujuh korban yang ‘dihabisi’ Gribaldi, lima di antaranya dibunuh di wilayah hukum Riau.

Korban Gribaldi adalah Rusdi Sidahuruk (41) warga asal Medan (Sumut), Gusmarni (31), Yeni Farida (29), Numarta Lili (29) mantan istri ketiga tersangka, Muhammad Ali alias Mamat bin Zubir, asal Jambi. Listi Kartika, dan Ngadimin.

Korban
Korban pertama Gribaldi yaitu Rusdi Sidahuruk dibunuh pada 2 November 1999. Waktu itu, tersangka meminta Rusdi untuk mengantarkannya dari Jambi menuju Baganbatu, ibu kota Kecamatan Bagansinembah, Kabupaten Rokanhilir (Riau).
Baru sampai di Dusun Kubu, tersangka dihabisi dengan enam kali tembakan di bagian dada dan perut. Mayat korban lalu dibuang di semak-semak belukar sebelum terlebih dahulu mempreteli semua identitas korban. Mobil rental yang disupiri Rusdi kemudian diambil tersangka.

Tiga tahun berikutnya, tepatnya tanggal 15 Juli 2002, tersangka kembali melakukan pembunuhan. Kali ini sasarannya adalah Gusmarni. Gusmarni dihabisi di sekitar kota Baganbatu.

Hasil otopsi Rumah Sakit Raden Mataher Jambi menyebutkan Gusmarni sedang hamil tiga bulan itu tidak lain adalah kekasih tersangka. Gribaldi membunuh Gusmarni karena yang bersangkutan diminta untuk bertanggung jawab terhadap janin yang dikandungnya.
“Keganasan” Gribaldi tidak berhenti sampai di situ. Sasaran berikutnya adalah Yeni Farida (29). Tidak diketahui apa latar belakang pembunuhan terhadap Yeni. Yang pasti, Yeni Farida disebut-sebut pasangan selingkuhan Gribaldi. Dari pengakuan Gribaldi kepada pihak penyidik Polda Riau, mayat Yeni dibuang di jalan raya Minas – Kandis, Kabupaten Siak, pada 5 November 2002.

Setelah Yeni, giliran Nurmata Lili (29) yang menjadi korbannya. Nurmata juga diduga sebagai istri simpanan tersangka. Setelah dibunuh, mayatnya dibuang di jalan lintas timur, kilometer 81, Desa Kemang, Kabupaten Pelalawan, Riau. Sebelum ditembak, korban sempat ditikam dengan senjata tajam. Mayat Nurmata ditemukan warga setempat tanpa identitas.
Listi Kartika adalah korban berikutnya. Keluarga Listi terakhir melihat Gribaldi menjemput Listi, Agustus tahun silam. Saat itu, Gribaldi mengenalkan diri sebagai Heri.
Oleh tersangka, Listi dijanjikan pekerjaan di sebuah perusahaan swasta dan diminta uang Rp25 juta sebagai uang ‘pelicin’. Sejak itu, keluarga korban kehilangan kontak dengan Listi. Terakhir, ibu korban, Nurhayati mendengar mayat anaknya ditemukan dalam keadaan terbakar di Bayu Lincir, Sumatra Selatan (Sumsel).

Percaloan
Setelah membunuh Listi, Gribaldi lalu menembak Ngadimin, salah seorang wartawan tabloid terbitan Jambi. Dari keterangan istri korban, Umsinah, hubungan Ngadimin dengan tersangka terkait dengan urusan percaloan bagi calon bintara polisi. Ngadimin-lah yang ditugasi Gribaldi memungut uang dari calon bintara polisi, yang konon per orang wajib menyetor Rp 50 juta. Mayat Ngadimin akhirnya ditemukan di Desa Babat, Banyuasin, Sumsel.
Terakhir pada 22 April 2004, Gribaldi juga membunuh Muhammad Ali alias Mamat bin Zubir. Ali dibunuh tersangka sacara sadis. Ia ditembak di bagian tubuhnya. Setelah itu, untuk menghilangkan jejak, Gribaldi lalu membakar tubuh yang sudah tak bernyawa itu.
Selain menahan tersangka, pihak Polda Riau juga menyita lima unit mobil jenis Toyota Kijang dan Isuzu Panther, senjata api organik laras pendek, dan proyektil. Di rumah tersangka juga ditemukan sejumlah barang bukti milik para korban seperti ijazah SD hingga Sarjana (S1) milik korban Yeni Farida, handphone, jam tangan, gelang emas, dan cincin milik para korban.
Saat ini, psikopat dari Jambi ini menjadi tersangka tunggal pelaku pembunuhan berantai dan diancam hukum mati.

Kanit Reskrim Polda Riau AKP Arie Darmanto kepada wartawan membenarkan Iptu Gribaldi akan dijerat KUHP Pasal 64 jo 336 dengan ancaman hukuman mati.
”Kita masih terus melakukan penyidikan dalam kasus ini. Kita juga telah meminta keterangan sejumlah saksi,” tutur Arie.

FOTO FOTO :http://tbn0.google.com/images?q=tbn:ClG_v2Dp8wEnBM:http://i133.photobucket.com/albums/q80/reinhardhtgl/ngadimin6.jpg

http://tbn0.google.com/images?q=tbn:ReZvO1VE5Wmb8M:http://i133.photobucket.com/albums/q80/reinhardhtgl/NgadiminmayatOtopsi1.jpg

05. ANDI SEMBIRING

Andi Sembiring, pembunuh pelukis nasional Raden Basoeki Abdullah ditangkap jajaran Resimen Mobil Polda Metro Jaya di Jalan Barito, Jakarta Selatan, Sabtu (15/3). Andi ditangkap bersama temannya Dago yang diburu polisi sejak 2001 karena membunuh Tetap Sembiring, kakak kandung Andi.
Dalam pemeriksaan dan pencocokan data, akhirnya polisi menemukan juga bukti bahwa Andi ini adalah pembunuh Basoeki Abdullah. Maestro pelukis istana kebanggaan Indonesia itu tewas dibunuh dalam sebuah aksi perampokan di rumahnya, Jalan Keuangan Raya Nomor 19, Cilandak, Jakarta Selatan, 5 November 1993. Sebelumnya polisi telah menangkap Nanda tukang kebun Basuki Abdullah. Pada awal pembunuhan sempat beredar isu pembunuhan dilakukan keluarga dekat korban dengan motif penguasaan harta warisan.
Basoeki Abdullah yang lahir di Solo, 27 Januari 1915 adalah putra kedua dari tokoh pelukis naturalis, Abdullah Suriosubroto. Ia juga cucu dari Dr. Wahidin Sudirohusudo, tokoh Boedi Oetomo/Kebangkitan Nasional. Pada 1933 sempat belajar di "Academi van Beeldende Kunsten" di Den haag, Belanda dan kemudian melanjutkan di Paris dan Roma.
Basoeki Abdullah dikenal sebagai pelukis mazhab "Hindia Molek" ("Mooi Indie") yang sampai akhir hayatnya masih konsisten dengan pilihan tehnik dan gayanya Realis-Naturalis. Sejak tahun 1949 ia membuktikan diri sebagai pelukis model yang handal, terutama tentang wanita cantik, potret kepala negara/pemerintahan. Basoeki Abdullah pernah membuat lukisan Nyi Roro Kidul dalam ukuran besar. Konon sebelum ia melukis, sang maestro menjalani tirakat untuk bisa menampakkan Sang Nyai.
Sementara mengenai pembunuhan terhadap kakaknya, Andi mengaku lantaran balas dendam karena sakit hati. Atas perbuatannya itu Andi dan Dago dijerat Pasal 338 Kitab Undang-undang Hukum Pidana tentang Pembunuhan Berencana, Liputan6.com.

04. MUNIR

7 Sept 2004, Aktivis HAM dan pendiri KontraS dan Imparsial, Munir (39 thn) meninggal di atas
pesawat Garuda dengan nomor GA-974 ketika sedang menuju Amsterdam untuk
melanjutkan kuliah pasca-sarjana. Sesuai dengan hukum nasionalnya, pemerintah
Belanda melakukan otopsi atas jenazah almarhum. Dan perkembangan selanjutnya Tanggal 19 Juni 2008, Muchdi Pr dijadikan tersangka utama konspirasi pembunuhan Munir. Peristiwa ini membuat kasus Munir mulai terang setelah hampir empat tahun. Akankah kasus ini kian terang atau kembali gelap: waktu yang akan menjawab.

http://www.kontras.org





03. TIBO CS

Kasus Tibo adalah sebuah kasus mengenai penyelesaian Kerusuhan Poso. Tibo sendiri merupakan salah satu terdakwa dari tiga terdakwa dalam kasus ini. Tiga orang terdakwa dalam kasus ini adalah Fabianus Tibo, Dominggus da Silva, dan Marinus Riwu. Mereka ditangkap pada Juli dan Agustus 2000. Dan dijatuhi vonis mati pada April 2001 di Pengadilan Negeri Palu, dan ditegaskan kembali dengan Pengadilan Tinggi Sulawesi Tenggara pada 17 Mei 2001. Pengadilan memutuskan bahwa mereka bersalah atas tuduhan pembunuhan, penganiayaan, dan perusakan di tiga desa di Poso, yakni Desa Sintuwu Lemba, Kayamaya, dan Maengko Baru.

Kasus vonis mati mereka menimbulkan banyak kontroversi sehingga menyebabkan rencana vonis mati mereka tertunda beberapa kali. Ketiganya dieksekusi mati pada dinihari 22 September 2006 di Palu.

02. FIRMNASYAH HUDAYA

Maaf belum ada gambarnya.

Menjelang puasa, seorang pembantu rumah tangga (PRT) melakukan perbuatan sadis terhadap dua majikannya.
Tidak hanya membunuh, dia juga memutilasi tubuh korban, bahkan merebus kepalanya untuk menghilangkan noda darah di wajah majikannya.
Perbuatan sadis itu dilakukan Firmansyah Hudaya, 23, pembantu pasangan suami istri (pasutri) Ronald Alimudin, 50, dan Sri Magdalena, 45, warga Kompleks Ciptagraha Blok C No 6, Kelurahan Sukaraja, Kecamatan Cicendo, Bandung.
Ronald dan Sri ditemukan tewas di rumahnya, Sabtu (30/8) pukul 18.00 WIB. Sri ditemukan tewas di kamar mandi belakang tanpa kedua lengan dan kepala. Sedangkan suaminya ditemukan tewas di kamar mandi bagian depan dengan dua luka tusuk di tubuh dan leher.
Menurut tetangga korban, Imam, 50, awal pembunuhan ini diketahui ketika Retno, 20, anak korban, baru pulang sekitar pukul 18.00 WIB.
Namun, ia tak bisa masuk ke rumah karena pintu digembok.
Retno kemudian melapor ke Riadi, 32, petugas satpam di perumahan itu. Bersama Dedi, 50, tetangganya, Retno dan Riadi mendobrak pintu. Setelah pintu terbuka, Riadi masuk. Namun, di sejumlah ruangan ia tidak melihat siapa pun.
Baru ketika mengecek kamar mandi belakang, ia menemukan tubuh Sri tewas telentang di lantai bermandikan darah. Yang terlihat ketika itu sangat mengerikan, karena Sri dalam keadaan tanpa kedua lengan dan kepala, Sri hanya mengenakan celana dalam. Kepala dan kedua lengan korban tergeletak di lantai kamar mandi. Melihat hal itu, Riadi langsung membawa Retno menjauh dari tempat itu.
Kemudian ditemukan Ronald Alimudin, 50, suami Sri Magdalena. Ia tewas di kamar mandi bagian depan dengan dua luka tusuk di tubuh dan leher. Mereka kemudian menghubungi polisi. Petugas kepolisian dari Polresta Bandung Barat dan Polwiltabes Bandung kemudian mendatangi lokasi melakukan olah tempat kejadian perkara (TKP).

Di rumah itu, selain Ronald, Sri, dan Retno, sehari-hari juga tinggal Firmansyah Hudaya, pembantu. Ada lagi pembantu bernama Ida, namun tidak tinggal di rumah itu.
Berdasarkan keterangan saksi, Sabtu siang sekitar pukul 13.00 WIB, Firman terlihat keluar rumah dan sempat mengatakan akan pulang kampung.
Berdasarkan kesaksian itulah, polisi bergerak memburu Firmansyah, pembantu yang sehari-hari berkerja merawat Ronald Alimudin yang terserang stroke. Kapolresta Bandung Barat AKBP Pratikno mengatakan, polisi berhasil mengetahui identitas pelaku setelah olah TKP selama 5 jam. Berdasarkan kesaksian tetangga, pelaku melarikan diri ke rumah tantenya di daerah Cililin, Batujajar, sekitar pukul 14.00.
“Petugas dari Polresta Bandung Barat dan Polwiltabes Bandung langsung memburunya, dan sekitar pukul 24.00 polisi berhasil menangkap Firmansyah,” kata AKBP Pratikno.
AKBP Pratikno didampingi Kasat Reskrim AKP Reynold EP Hutagalung mengatakan pelaku diciduk di daerah sekitar Waduk Saguling, Cililin, Kabupaten Bandung Barat.
"Pelaku kami tangkap di Cililin di rumah sepupunya, dan mengakui bahwa dirinyalah yang melakukan pembunuhan itu," ungkap Pratikno.

Menurut Pratikno, pada saat mengeksekusi kedua korban, pelaku masih sempat melayani sekitar enam orang pembeli ke warung majikannya itu. "Eksekusi dilakukan pukul 11.00 WIB hingga 13.00 WIB, di sela-sela waktu itu pelaku sempat melayani orang yang membeli ke warungnya," jelasnya.
Dalam eksekusi tersebut, pelaku mengaku memenggal kepala dan kedua tangan Sri Magdalena.
Untuk meninggalkan jejak, dijelaskan Kasat Reskrim, pelaku bahkan sengaja merebus kepala Sri Magdalena selama 15 menit. "Di wajah korban terlihat banyak sayatan, untuk menghilangkannya, pelaku sengaja merebus kepala korban dalam panci selama 15 menit," terangnya. Setelah itu, sekitar pukul 13.00 WIB pelaku melarikan diri dengan mengunci semua pintu untuk akses masuk ke dalam rumah.

Pengakuan Firmansyah, ia menghabisi nyawa majikannya karena merasa sakit hati. Ia merasa dipelakukan tidak baik oleh Sri. Misalnya, ia sering mendapatkan jatah makanan sisa dari makanan suaminya. Ia juga sering ketiban marah majikannya hanya gara-gara satu permen yang hilang atau lupa tidak dicacat. Ia juga mengeluhkan gajinya yang tidak naik-naik. Padahal dia mengaku bekerja selama 24 jam mengurus Ronald yang sakit. Namun ia hanya mendapat gaji Rp 500.000. "Jadi, dia kesal dan merasa sakit hati," kata Pratikno.
Pengakuan Firmasnyah, ia mengawali pembunuhan dengan memukul kepala korban menggunakan kunci inggris. Korban pun terjatuh. Pada saat itu korban masih bernyawa. Aksinya semakin tak terkendali saat ia mengetahui suami korban memanggilnya. Kemudian dia menghabisi nyawa Sri. Selanjutnya ia menghabisi nyawa Ronald dengan cara sama, memukulkan kunci inggris ke kepala Renald.

Selanjutnya Firmasnyah memotong kedua lengan dan kepala Sri. Selama melalakukan itu, pelaku masih sempat melayai 6 pembeli di warung milik korban.
Warga di sekitar rumah korban tak percaya pelakunya adalah Firmansyah, laki-laki yang selama ini terlihat ramah. “Sehari-hari Firman terlihat baik. Kalau bertemu warga menyapa," kata Ny Teti, tentangga korban.

Motif dendam juga dikemukakan pembantu korban, Ida Farida, 36, yang tidak tinggal di rumah korban. Ida mengaku pernah mendapatkan keluhan Firmansyah. "Kok gaji saya nggak naik-naik, padahal saya kerja 24 jam," kata Ida menirukan keluhan Firmansyah.
Mendapat keluhan itu, ia menyarankan untuk bicara dengan majikan.
Ia mengaku pada pukul 10.00 WIB itu pulang karena ada kelurganya yang datang ke rumahnya di Desa Cigugur Tengah, Kecamatan Cicendo, Bandung. Pada jam normal, ia biasanya pulang sekitar pukul 15.00 WIB. Ia sangat kaget ketika polisi dan satpam menjemputnya dan memintanya datang ke rumah korban pada sore harinya.

Kini Firmansyah menghadapi ancaman hukuman seumur hidup. “Kalau terbukti bersalah melakukan pembunuhan berencana, tersangka bisa dijerat pasal 340 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) yang ancaman hukuman seumur hidup,” kata Kasatreskrim Polresta Bandung Barat AKP Reynold EP Hutagalung. tribun jabar/wk

01. RYAN FERY IDAM HERYANSYAH

Inilah dia Pembunuh paling sadis Abad ini

JAUH sebelum terbongkarnya kasus mutilasi dan pembunuhan berantai yang dilakukan Very Idam Heyansyah alias Ryan, sang ibu, Kasiatun (55), pernah diancam akan dibunuh oleh Ryan. Kasiatun dikejar-kejar Ryan yang memegang pisau.
Peristiwa itu terjadi ketika Ryan masih duduk di kelas III SMP Tembelang, Jombang, Jawa Timur, sekitar tahun 1995. Saat itu Kasiatun dan Akhmad baru saja membawa Ryan pulang dari RS Gatoel, Mojokerto. Ryan yang stres berat menjalani perawatan selama dua pekan di rumah sakit itu.

Dan terakhir sudah 11 Korban yg ditemukan, yg rencananya 41 orang akan dibunuhnya, entah untuk maksud apa ? hingga kini masih menjadi misteri.

1 comments:

Unknown said...

oh god.....
bener2 sadis...
mga mrka smpat brtobat,dan dampun kn smua dosa nya, amin...

Post a Comment

Fans